Hari sudah sore ketika aku tiba di terminal Lebak Bulus. Hari itu hari
terakhirku menjadi bujangan. 4 hari lagi, aku akan menikahi Mei,
kekasihku selama 6 tahun. Hari ini aku pulang ke Jogja, ke tempat
kelahiranku untuk bertemu dengan keluarga.
Hidupku sungguh sempurna. Tepat setelah aku lulus dari kuliah, aku
mendapatkan kerja yang cukup nyaman di sebuah perusahaan telekomunikasi
cukup besar daerah Jakarta Selatan. Tinggal jalan kaki ke Pondok Indah
Mall. Mei, calon istriku, kemudian menyusul ke Jakarta dan bekerja di
sebuah bank di Bintaro. Perjalanan cinta kami bisa dibilang cukup mulus.
Benar-benar sebuah hidup yang sempurna. Aku pun bukan orang yang
aneh-aneh. Aku dibesarkan dalam keluarga yang cukup religius dan sangat
teratur. Sepanjang sejarah kehidupanku, bisa dihitung berapa kali aku
melanggar aturan atau norma. Kenakalanku paling besar hanyalah minum
tomi (topi miring in case you’re wondering) dan sedikit magadon, waktu
acara naik gunung di SMA. Tapi itu dulu.
Hampa kadang terasa. Hidup serasa jalan tol, tanpa rintangan, mulus
tanpa gejolak, penuh aturan. Kadang aku ingin, sekali-kali memberontak,
melanggar aturan. Sekali dalam seumur hidup.
Aku beranjak di tengah kerumunan calo-calo untuk mencari busku. Sumber Alam. Langgananku selama 2 tahun terakhir.
“Mbak, Sumber Alam yang Bisnis belum datang ya?” tanyaku kepada seorang petugas loket. Manis juga. Item manis sih tepatnya.
“Dereng mas, jogja ya? Mangke setengah jam malih …,” Lho, kok bahasa jawa?
“Nuwun nggih mbak.”
Aku duduk menunggu. Asap bus benar-benar menyesakkan. Aku merasakan
diriku sesak napas. dari dulu memang aku tidak pernah suka keramaian dan
kesesakan Jakarta. Tapi kepepet sih, harus cari upa (“cari nasi”) di
Jakarta.
Tak lama kemudian bis itu datang juga. AB 7766 BK. Aku bergegas naik.
14A. dua tempat duduk. Aku sengaja mencari tempat duduk persis di bawah
AC. Biar bisa tidur lelap. Aku segera menutup mata. Mengurangi
kebisingan akibat lalu lalang orang mencari tempat duduk.
“Mas, mas, maaf …,” ada suara merdu rupanya. Aku membuka mataku.
“Maaf, apa boleh tukeran sama suami saya? Suami saya dapat tiket tempat duduk di seberang. Soalnya beli tiketnya baru aja tadi.”
Aku melihat ibu yang menyapa tadi. Kemudian melihat suaminya yang
tersenyum mengangguk kepadaku di seberang kursi kami, menggendong anak
yang kira-kira berusia 5 tahun.
“Aduh, bu, maaf, bukannya saya tidak mau, cuman memang saya sengaja
memilih tempat di bawah AC ini bu. Maaf ya,” jawabku agak keberatan.
Bukannya apa-apa, tapi aku paling tidak suka diganggu dengan masalah
orang yang telat membeli tiket seperti pasangan ini.
Ibu itu cemberut. “Ya sudahlah pa, kita ngalah aja. Aku duduk di sampingnya mas ini aja.”
Whatever. aku kembali menutup mataku.
Perjalanan ini sesungguhnya bakal menyenangkan, kalau tidak harus
mendengar rengekan anak 5 tahun yang sepertinya tidak pernah diam itu.
Belum lagi suara ibu-ibu di sebelahku ini, yang ya ampun, cerewetnya.
Aku jengkel banget.
Hujan mulai turun. Airnya menetes membentuk alur di kaca jendelaku. Masih terjebak di Cawang. Sial.
Untung Cikampek tidak macet. Kendaraan mulai menderu, bertambah cepat.
Kulihat tebaran warna hijau ditimpali air hujan yang begitu deras di
sebelah kiri jalan tol. Suara air hujan menderu keras sekali di atas
atap. Orang-orang sudah mulai menampakkan kantuk, dan sepertinya suasana
menjadi begitu sepi. Uh, begitu romantis. Kalau saja Mei di sampingku,
pasti kepalanya sudah bersandar di bahuku, dan tangannya memeluk
lenganku. Kalau saja ….
Aku memandang ke samping. Ibu itu kini sedang sibuk memberikan makan
kepada anaknya. Si bapak sedang sibuk dengan PDAnya. Tipikal keluarga
Jakarta, berumur di akhir 30an dan baru saja mempunyai anak. Tampaknya
keluarga berada. Tapi ngapain naik bis ya? Ah, peduli amat.
Aku kembali menutup mataku. Hari berangsur gelap.
“Pengumuman, bapak ibu. Mohon maaf bahwa ada kerusakan teknis yang
menyebabkan lampu tidur tidak dapat menyala,” kata kenek bus itu
mengagetkan aku.
“huuuuu,” para penumpang menyahut serentak. Sip. aku paling tidak suka
lampu tidur yang remang remang. Aku paling suka gelap. Tidurku pasti
nyenyak malam ini. Perjalanan yang panjang menuju Yogyakarta.
————
Aku melirik jamku. Jam 9 malam. Semua orang tampaknya sudah terlelap.
Tidak terkecuali ibu dan anak di sampingku. Bus tadi baru saja berhenti
di tempat makan. Orang-orang makan malam dan ke belakang. Pasti mereka
kekenyangan, dan acara yang paling menyenangkan setelah makan adalah
tidur. Hujan masih turun, rintik-rintik. Aku melanjutkan tidurku.
Tidak berapa lama aku terlelap, aku merasakan kaki anak di sebelahku
menyentuh kakiku. Sialan. Itu berarti sepatu anak itu kena celanaku. Aku
menggeser-geserkan kakiku agar kaki anak itu tidak menekan celanaku.
Tentu saja dengan mata terpejam. Tidak disangka, kaki itu balas
menggesek. Eee, kurang ajar. Aku segera membuka mataku untuk menegur
orang tuanya. Aku terkejut.
Ternyata itu bukan kaki anak kecil. Itu kaki orang dewasa. Kaki ibu itu.
Si anak ternyata sudah tidak ada di pangkuan dia. Kemungkinan ada di
pangkuan si bapak. Aku segera menutup mataku, pura-pura tidur.
Perasaanku mengatakan ada sesuatu yang lain yang akan terjadi. Aku
kembali menggesekkan kakiku, menunggu responsnya. Dan ibu itu balas
menggesek. Aku sedikit membuka mataku. Kilatan cahaya dari luar bus
memberikan sedikit penglihatan mengenai ibu di sampingku. Matanya juga
terpejam ternyata.
Tiba-tiba ibu itu menggeser sedikit tubuhnya. Ya, kearahku. Kami berdua
menjadi duduk berdempetan. Sisi samping kananku menempel pada bagian
kiri tubuhnya. Harum rambut dan parfumnya mulai merasuki hidungku. Aku
mulai terangsang.
Aku mencoba untuk lebih berani. Tubuhku aku condongkan sedikit ke depan,
dan kemudian aku bergeser ke arahnya. Sehingga posisi saat itu,
lenganku tepat di depan dadanya. Tubuh itu diam saja. Lenganku kemudian
ku tekan sedikit ke belakang, sehingga aku bisa merasakan sesuatu yang
begitu empuk. Ya, payudaranya. Payudaranya besar. Aku bisa merasakan
volumenya ketika lenganku menggeseknya. Dan sangat empuk. Sikuku
kemudian membuat gerakan melingkar di dadanya. Pelan sekali, sikuku
bergerak. Aku tidak mau membuat ia berpikir macam-macam dan kemudian
menamparku.
Tubuh itu diam saja. Kulirik matanya. masih terpejam. Tapi aku mendengar
dia menghela napas. Jadi ia terangsang. Aku? sangat terangsang. Aku
merasakan dadaku berdentum-dentum. Kepalaku berputar-putar karena aliran
darah yang sangat cepat ke otakku. Aku bisa mendengar degup jantungku
di telingaku sendiri. Aku akan melakukan dosa. 4 hari sebelum
pernikahanku. Sepanjang sejarah hidupku. Tapi perasaan itu, nafsu itu,
benar-benar membuat aku tidak tahan …..
lenganku terdiam sebentar dari kegiatan menggesek dadanya. Yang lebih
mengejutkan lagi, tangan ibu itu mulai mengelus pahaku. ya, pahaku yang
dibalut celana panjang kain warna coklat. Tangannya sangat perlahan
mengelus kakiku dari mulai pangkal paha sampai atas lutut. Aku gemetar.
Sangat gemetar. Aku tidak tahan ……
Sekarang posisiku berubah. Aku membuka tas dan mengambil sweater. Aku
sudah memakai jaket tentu saja, karena aku tidur di bawah AC. tapi
sweater tadi untuk maksud lain. Sweater tadi kemudian aku tutupkan di
atas dadaku, dan kemudian tanganku kulipat. Apabila dililhat dari jauh,
seperti orang yang tangannya kedinginan karena AC. Tapi bukan itu
alasannya. Aku beringsut lagi mendekati tubuhnya. Tangan ibu itu masih
mengelus pahaku. Kami berpandangan sebentar. Lucunya, setelah itu kami
berdua kembali bersender pada tempat duduk kami dengan mata terpejam.
Tanganku mulai beraksi. Tangan kiriku yang tadi dilipat mulai bergerak
ke arah dadanya. Sangat pelan. Tangan itu mulai menyusuri bukit indah
yang tertutup kain, mulai dari tepi. Aku sangat menghayati momen itu.
Pelan-pelan kuelus bukit indah itu, dari tepi ke kanan. Sedikit ku
remas, tapi tidak banyak. Aku tidak mau menyakiti bukit indah itu.
Sungguh, ibu itu mempunyai dada yang sempurna. Besar, dan sangat kenyal.
Aku merasakan bahwa dia memakai BH yang berenda. Aku membayangkan
bentuknya. Mungkin warnanya hitam. Atau merah. Dan rendanya sedikit
tembus pandang. Mungkin cupnya cuma setengah. Mungkin cupnya tidak bisa
menahan volume payudara sebesar itu. Oooh, aku semakin terangsang.
Ibu itu mengenakan baju jeans terusan dengan bawahan rok dengan kancing
dari dada sampai di lutut. Kain jeansnya untungnya kain yang lemas,
sehingga aku bisa merasakan tekstur renda BHnya. Sangat merangsang. Aku
melirik sedikit ke arah dia. Dia masih terus mengelus pahaku. Aku tidak
sabar. Tangan kananku yang nganggur kemudian memimpin tangannya ke
penisku yang sudah tegang. Aha, dia mengerti. Kemudian dia berlanjut
mengelus kontur penisku dengan jari telunjuk dan jempolnya yang tercetak
jelas di dalam celanaku. OOoh, mantab.
“Besar …..,” desisnya. Matanya tetap terpejam. Mataku juga.
Aku melanjutkan kenakalanku. Kali ini, dua kancing tepat di depan dada
besar itu aku buka. Dengan susah payah. Pernah membayangkan membuka
kancing-kancing besar pada kain jeans? Yup, susah sekali. Akhirnya dia
turun tangan. Tangannya kanannya membantuku membukanya.
Tanganku kemudian masuk pelahan ke dalam bajunya, untuk merasakan
keindahan payudara di baliknya. Bayanganku memang menjadi kenyataan. BH
setengah cukup yang terlalu kecil, dengan renda yang sangat merangsang.
Aku suka sekali renda, terutama apabila renda itu ada di tempat yang
tepat. BH dan celana dalam. Aku kembali mengelus dadanya. SEkarang aku
sedikit meremasnya. Sensasinya benar-benar luar biasa. Dia mendesis.
Kepalaku berdentum-dentum. Jantungku berdebar sangat keras.
“Buka,” bisikku lirih. Mungkin tidak terdengar. Tapi aku tidak mau
mengambil resiko terdengar. Apalagi oleh suaminya yang hanya duduk 50 cm
di seberangnya. Ternyata dia mendengar. Dia berhenti mengelus penisku,
membungkukkan sedikit badannya, dan kemudian berusaha melepas kait BHnya
di belakang. Agak lama dia membukanya. Selagi dia membuka BHnya,
pelahan aku menarik ritsleting celanaku ke bawah. Pelaaan sekali.
Setelah itu, aku memelorotkan celana dalamku. Tidak melorot sih
sebenarnya. Cuman mengaitkan kolornya ke bagian bawah penisku. Tidak
nyaman memang. Tapi sekarang penisku bisa bebas mengacung menunjuk
langit. Menanti elusannya.
Sepertinya kait BHnya sudah lepas. Tangan dia sepertinya cerdas, kembali
mencari sasarannya yang tadi lepas. Dan dia tidak kaget, kali ini
penisku sudah tegak menjulang, keluar dari celana. Kemudian dia seperti
terkejut dan kemudian menarik tangannya dan kemudian melipatnya di depan
dada. Pura-pura tidur, sambil menutupi dua kancing dadanya yang sudah
terbuka lebar.
Sial. ada orang mau ke toilet. dia berjalan melangkah dari depan. Untung
aku ada sweater yang bisa menutupi si “burung” nakal. Aah, seorang
wanita. Bakalan lama nih. Jantungku berdegup keras.
Lama sekali orang itu di toilet. Aku mulai tidak sabar. Penisku sudah
mulai menyusut. ya iyalah, baru juga pemanasan. Kepotong deh. ….
Akhirnya wanita itu lewat juga di di samping kami. Uuuh, lega. Tangan
ibu itu mulai duluan, menyusup di bawah sweater, mencari “adikku” yang
mulai tegang lagi. hmmm. Tangannya sungguh mulus, dan sentuhannya,
benar-benar nikmat. Dia tahu betul cara merangsang penis dengan
sentuhan. Sentuhan itu ringan, seperti melayang. Dia tidak meremas, atau
menggosok terlalu keras. semuanya serba ringan dan melayang. Dan itu
membuatku melayang.
Tanganku juga tidak mau kalah, seperti mempunyai mata sendiri yang
bergerak mencari sasarannya. Si bukit kembar yang kenyal. Dan tangan itu
menemukan sasarannya. Dada itu benar-benar lembut. Mulus tak bercela.
Aku meresapi setiap jengkal usapan tanganku di dadanya. Meremas pangkal
dadanya. Memilin putingnya. Putingnya. Putingnya runcing, ukurannya luar
biasa, sepanjang buku jari telunjukku. Dan keras. Sangat keras. Sperti
penis kecil. Aku memilinnya. lagi. Dan dia mendesis.
“jangan keras-keras,” bisiknya sangat lirih. AKu mengerti. Aku meremas, memilin, mengelus tanpa henti. Benar-benar nikmat.
Tapi tetap ada yang kurang. Kami berdua tidak terpuaskan. Penisku tetap
tegang luar biasa. Dan rasanya mulai sakit sekarang. berdenyut-denyut ga
karuan. Tangannya masih tetap mengelus penisku, tapi sungguh, tangan
itu tidak mampu membuat aku nikmat terus-menerus. Dia mengerti hal itu.
“Ke bawah ….,” bisiknya sambil mengarahkan tanganku yang tadi ada di
dadanya ke arah bawah. Aku langsung tanggap. Tanganku berubah posisi,
mengelus pahanya yang tertutup kain jeans. Tidak berasa memang. Tapi
dari gerakan tubuhnya aku tahu, dia sangat terangsang. Dia berulangkali
menggerakkan tubuhnya, seolah menikmati betul elusan tanganku di
pahanya. Pelan-pelan aku naik sedikit ke atas, tepat di gundukan di
bawah pusar itu. Dia menahan tanganku.
“Jangan … “
Aku nekat.
“Jangan …” Ok. Aku turuti. Aku kembali mengelus pahanya. Kali ini
tanganku lebih berani. Kupegang ujung roknya dan kunaikkan sedikit ke
atas. Dia tidak menolak. Aku kembali mengelus pahanya. Hhhm, sungguh
mulus. Benar-benar mulus. Aku merasakan bulu-bulu halus di telapak
tanganku. Dia terengah-engah. Tangannya sejak dari tadi berhenti
mengelus penisku. Tak apa. lebih baik begitu daripada menyiksa “adikku”
yang sudah tegang luar biasa.
Aku tiba-tiba menghentikan elusanku dan menarik tanganku. Kemudian
memandang ke arah dia. Matanya bertanya. Menanyakan mengapa aku
menghentikan itu.
“Aku mau itu,” bisikku mendekat di telinganya, sambil menunjuk ke arah gundukan tempat vaginanya berada.
Dia menggeleng. Aku kemudian berpura-pura tidur. Memejamkan mata.
Lama sekali. Mungkin 5 menit, mungkin kurang dari itu. Tangannya menarik
tanganku dan mengarahkannya ke tempat yang aku inginkan. Hehehehe, aku
menang. Dia tidak tahan. Tanganku sudah berada tepat di atas gundukan
itu. Dia membuka kancing bajunya tepat di area itu. Tanganku bergerak
mencari celana dalamnya. Dapat.
Jelas, ini sutra. Atau Satin? aku tidak peduli. bahan kain celana
dalamnya halus sekali. aku merabanya. memastikan. Terus ke bawah, dan
kutemukan apa yang kucari. Sesuatu itu sudah basah. Pasti basah, karena
aku merasakannya dengan tanganku. Tanganku berhenti di situ. Merasakan
bentuknya. Sedikit bergelombang. Aku merasakan lipatan vertikal.
Bulu-bulu halus di sekitarnya. Cukup tebal. dan sangat basah. Aku
tersenyum kembali. Penuh kemenangan. Jari tengahku kemudian mengelus
lipatan basah itu. Pelan, tapi sedikit menekan. Dia mendesis. Oh tidak.
Dia melenguh. Tetap memejamkan matanya.
Aku makin berani. Celana itu aku pegang elastisnya. dan aku turunkan ke
bawah. Dia memegang tanganku. Aku tetap berkeras. Dia menyerah.
Kembali jari tengahku mencari tempat tadi. Jari itu mencari sumber
kenikmatan seorang wanita. Sebuah penis kecil yang sudah amat basah. Aku
menggoyangnya pelan dengan jariku. Kemudian mengelusnya. Kemudian
menekannya. Tubuhnya menegang.
Aku kembali mengelusnya. Pelan dan sedikit menekan. Pelan dan sedikit
menekan. Tempat itu terasa lebih basah daripada sebelumnya. Jariku masuk
lebih ke dalam. Merasakan lipatan lain di dalam yang sangat basah.
Benar-benar basah. Rongga itu seperti tidak berujung. Kemudian jariku
kugerakkan. ke dalam dan ke luar. Berulangkali.
Aha, aku merasakan jariku seperti tersedot ke dalam. Ada sesuatu yang
mencengkeram. Dan rasa itu kembali membuatku terangsang. Aku terus
menggerakkan jariku. Semakin cepat. Tiba-tiba jariku seperti ditumpahi
cairan hangat. kental. Dia terengah-engah. Tubuhnya menegang. Kali ini
cukup lama. Aku terus menggerakkan jariku. Dia kemudian menahan
tanganku. Aku menurut. Aku memandangnya.
Matanya terpejam. Seperti menghayati sesuatu. Mungkin orgasme. Dadanya
naik turun, terengah-engah seperti habis lari kencang. Kancing masih
terbuka.
“Apa kau ..?”
“Ya … . Luar biasa …,” bisiknya, memandang kepadaku. Oooh, senyumnya
manis sekali. Matanya yang bulat besar memantulkan kilatan cahaya neon
di luar bus.
Dia memandang ke bawah tubuhku.
“Kasihan ya,…” senyumnya menunjuk ke “adikku”. Ya iyalah. “adikku” tidur
nyenyak sementara dia sendiri terpuaskan. Paling tidak dengan jariku.
“ga papa …”
Kami berdua terdiam. Menghayati momen-momen gila tadi. Kedua mata
terpejam. Hawa dingin AC menyergap. Aku melirik jamku. 2 dinihari. Dan
kemudian bus berhenti. cukup lama. Orang-orang sepertinya tidak peduli.
tetap mereka tertidur nyenyak, padahal AC mati.
Aku memandang “partner”ku. Matanya terpejam. Bajunya sudah dikancingkan. Lengkap. Aku pun bergerak membetulkan celanaku.
“Jangan ….,” katanya sambil menahan tanganku yang hendak menarik
ritsleting. Oh, dia ternyata melirikku. Ok. Aku menurut. Aku ingin tahu
apa yang ingin dia lakukan. Aku hanya menutupnya kembali dengan sweater.
Temperatur udara dalam bis mulai panas. Keringatku mulai menetes dari
kening.
Akhirnya bus berjalan. AC mulai berhembus lagi. Sejuk. Aku memejamkan mata lagi.
“Buka matamu, awasin ….”
Aku tidak mengerti. aku membuka mataku. Tiba-tiba dia membungkuk.
Gilaaaa. Aku merasakan bibir mungilnya menyentuh kepala “adikku”. Ringan
sekali. Aku mengerti maksudnya. Mengawasi sekeliling supaya tidak ada
seseorang pun memergoki aksi gila ini. Penisku mulai hidup lagi. Gila
mungkin, tapi aduuuh, memang nikmat. Kurasakan bibirnya mulai menciumi
kepala penisku. Ohh, bibirnya mulai membuka dan memasukkan kepala
penisku ke mulutnya. Penisku mulai masuk ke dalam mulutnya. Dan
pelan-pelan mulut itu mulai menghisap. Adduh, sakit.
“Jangan keras-keras …,” aku berbisik sambil membelai rambutnya. Membelai
rambutnya? iya, seperti layaknya pacar saja. Dia kembali melanjutkan
kulumannya. Kali ini pelan-pelan. Naik turun. Naik turun. Nikmat tak
terkira.
Tampaknya dia sudah sering melakukan ini. Mulutnya bagaikan sebuah mesin
handal perangsang penis. Setelah selesai menghisap, dia berhenti
sebentar, dan kemudian menjilat bagian bawah kepala penisku. Tidak cuma
menjilat, lidahnya juga bergetar ketika bergerak menyusuri daging itu.
“Ooohhh ..,” kali ini aku terpaksa harus melenguh. Ini nikmat sekali.
Dia tahu sekali kelemahan “adikku”. Bagian itu kemudian digigitnya
dengan bibirnya. Siall, makin nikmat. Lagi-lagi digigitnya dengan
bibirnya. Kalau begini terus, aku pasti tak tahan. Gelliiii.
Kemudian mulutnya kembali mengulum. Naik turun. Yang aku heran, penisku
bisa masuk semua ke mulutnya. Wooa, sensasinya benar-benar luar biasa.
Telaten sekali dia. Mulutnya kemudian berpindah ke …. bolaku. Menciumnya
sebentar, kiri dan kanan, dan kemudian memasukkannya ke dalam mulutnya.
Ohhhh….. . Ketika mengulum bolaku, kurasakan lidahnya menari-nari di
dalam mulutnya.
Aku yang ga telaten. Kurasakan nikmatku semakin memuncak. Tidak tahan lagiiiiiiiii …..
“Aku mau ….”
Mulutnya berpindah ke kepala penisku. Mengulumnya lagi. naik turun. Tangannya mengocok pangkal penisku. Pelan tapi erat.
“Aaaahhhhh …”
Ujung penisku berkedut. Sekali. Kurasakan aliran sperma ke mulutnya. Dua
kali. Tiga kali. Empat kali. Selama itu pula mulutnya tetap
mencengkeram kepala penisku. Aku ejakulasi. Di dalam mulut seorang ibu.
Orang asing. Aku bahkan tidak tahu namanya.
Dia memandangku. Tatapan itu ….
“Makasih ….,” hanya itu yang terlontar dari mulutku. Dia bangkit,
kemudian tersenyum kepadaku. Sekilas kulihat bekas sperma di pinggir
bibirnya. Aku mengangkat tanganku, membersihkannya.
Kami berdua terpejam.
Pagi menjelang. Orang-orang sudah sibuk ngobrol. Isi bus kembali ramai.
Aku? masih terlelap. Atau pura-pura? Setelah kejadian malam tadi, aku
sama sekali tidak berani untuk menatap ibu di sampingku. Bahkan mengajak
bicara pun tidak berani. Kurasa dia juga begitu. Kudengar dia sibuk
dengan anaknya, sambil bicara dengan suaminya seolah-olah tidak pernah
terjadi apa-apa antara aku dan dia. Sepanjang jalan ku membuang muka,
menatap pemandangan di luar jendela bus.
Pesta bujanganku kurasa.
Pukul 6.30. Orang-orang sudah mulai turun bus. Sudah sampai Sedayu.
Berarti sebentar lagi masuk kota. Keluarga di sampingku bangkit. Oh,
mereka mau turun.
“Mas, duluan, mas …,” kata suaminya ramah, ditimpali ibu itu. Aku
terpaksa menoleh ke arah mereka. Baru kusadari sekarang. Ibu itu sangat
manis. Aku merasa berterimakasih padanya.
“Oiya, monggo monggo,” sahutku.
Mereka turun dari bus. Bus semakin sepi mendekati terminal Giwangan. Ada
secarik kertas kecil di bekas tempat duduk ibu tadi. Aku memungutnya.
Penasaran.